Oleh: Triska Retno Wulandari, SPd (Ustadzah di Ponpes Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah Lampung)
Hari ini, Ahad (13/4/2025) menghadiri acara kelulusan santri di Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah Lampung. Acara ini bukan sekadar seremoni tahunan, bukan pula hanya momentum pelepasan siswa dari ruang kelas dan asrama, melainkan momen yang penuh makna ideologis, spiritual, dan peradaban.
Tahun ini, tema “Langkah Santri, Jejak Mujahid: Menuju Pembebasan Masjid Al-Aqsha nan Dihadid” menjadi penegas bahwa setiap santri tidak sedang berjalan sendirian dalam lintasan ilmu, melainkan sedang menyusuri jejak para mujahid yang hidup dan mati untuk Islam, dan bermimpi membebaskan Masjid Al-Aqsha dari belenggu besi penjajah Zionis.
Di banyak tempat, kelulusan diartikan sebagai akhir dari masa studi. Namun di lingkungan Shuffah Hizbullah dan Al-Fatah, kelulusan justru dideklarasikan sebagai awal dari perjalanan besar. Para santri dididik untuk tidak hanya selesai pada bangku pendidikan, tetapi dilatih untuk membawa nilai-nilai pondok ke dunia luar serta menjadi tempat bertanya di masyarakat ibarat menjadi kendaraan untuk masyarakat di lingkungannya, santri merupakan penerus ulama dalam menegakkan dakwah Islam melalui ruang-ruang pengabdian, hingga medan pembebasan kelak.
Kelulusan bukanlah sebuah akhir. Ia adalah pelantikan tak resmi untuk menjadi bagian dari barisan para pejuang Islam. Santri bukan hanya lulusan akademik, tetapi lulusan ideologis yang dibekali ilmu, akhlak, militansi, dan cita-cita global: pembebasan Masjidil Aqsha dan penegakan keadilan Islam.
Selama ini, istilah “mujahid” sering dipersempit pada sosok yang mengangkat senjata di medan perang. Padahal, dalam konteks yang lebih luas, mujahid adalah mereka yang bersungguh-sungguh menegakkan Islam di segala lini kehidupan. Seorang guru yang ikhlas, seorang dai yang teguh, seorang relawan kemanusiaan yang tak gentar, bahkan seorang santri pelajar yang tekun dan istiqamah mereka semua adalah mujahid.
Santri Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah dibina bukan hanya untuk mahir dalam ilmu, tetapi juga kuat dalam tekad perjuangan. Mereka ditempa dengan tarbiyah ruhiyah, dibiasakan dengan disiplin pergerakan, dan ditanamkan visi kebangkitan Islam. Mereka bukan hanya belajar untuk diri sendiri, tetapi untuk umat. Maka wajar jika kelulusan mereka tak sekadar dilepas, melainkan dilepas sebagai kader perjuangan.
Masjid Aqsha bukan hanya masjid ketiga paling suci dalam Islam. Ia adalah simbol harga diri umat, saksi sejarah Isra’ Mi’raj, dan kiblat pertama kaum Muslimin. Namun kini, Al-Aqsha sedang “dihadid” dibelenggu oleh penjajah Zionis, dijajah secara fisik, dimanipulasi secara sejarah, dan diselimuti oleh konspirasi dunia.
Apa hubungan Al-Aqsha dengan para santri? Jawabannya: sangat erat. Karena dari pesantren-pesantren seperti inilah lahir generasi yang mampu menjaga kesadaran umat atas isu Palestina. Dari pesantren-pesantren seperti ini pula, lahir dai dan aktivis yang menyuarakan kebenaran, menggerakkan solidaritas, bahkan secara nyata turun ke lapangan kemanusiaan di bumi para nabi itu.
Kelulusan tahun ini membawa pesan yang sangat jelas: setiap langkah santri hari ini haruslah langkah yang mendekatkan umat kepada kemenangan. Pembebasan Al-Aqsha tidak akan datang tiba-tiba. Ia lahir dari gerakan ilmu, kesadaran, dan pengorbanan yang ditumbuhkan sejak dini, salah satunya di lembaga ini, lembaga pendidikan yang melahirkan diantaranya lembaga Kemanusiaan Aqsa Working Group dan Ukhuwah Al-Fatah Rescue (AWG) juga Kantor Berita khusus Palestina, Minanews.net.
Ketika para santri melangkah keluar dari gerbang pesantren, mereka sejatinya sedang menapaki jejak para mujahid. Para pendahulu mereka telah membuktikan: dari pesantren kecil bisa lahir perubahan besar. Dari ruang sederhana, bisa lahir semangat jihad yang mengguncang dunia.
Jejak para mujahid tidak hanya tertulis dalam kitab-kitab sejarah. Ia hidup dalam semangat belajar tanpa henti, dalam amal yang tidak lelah, dalam keberanian menolak kezaliman, dan dalam kesetiaan terhadap perjuangan Islam. Maka, tugas santri hari ini adalah melanjutkan estafet perjuangan itu di mana pun mereka berada nanti: di tengah masyarakat, di kampus, di medan dakwah, bahkan di panggung dunia.
Kelulusan adalah momentum untuk meneguhkan komitmen, bahwa menjadi santri adalah pilihan jalan hidup. Jalan yang tidak mudah, tetapi penuh kemuliaan. Jalan yang mungkin sepi dari sorotan dunia, tapi disaksikan oleh langit. Jalan yang tidak selalu menjanjikan dunia, tetapi pasti mengantar pada ridha Allah.
Kepada para santri yang lulus, jangan pernah ragu melangkah. Jangan biarkan dunia luar melemahkan prinsip yang telah ditanamkan di pesantren. Jadilah lentera di tengah kegelapan. Jadilah saksi bahwa Islam masih punya generasi yang siap berjuang. Dan yang terpenting, jangan pernah lupakan Al-Aqsha, ia bukan sekadar tempat suci, tapi amanah besar umat yang sedang menantikan pembebasan.
Kelulusan santri hari ini yang terjadi di kampung Islam Internasional Muhajirun menjadi cikal bakal tumbuhnya benih-benih perjuangan dengan gigihnya mereka menuntut ilmu meski tak semudah yang di kirakan namun semangatnya bergema jauh hingga ke Al-Quds yang sedang menangis terluka.
Kelulusan ini bukan sekadar simbol pencapaian pribadi, tetapi deklarasi kesiapan: bahwa santri Indonesia siap melangkah, menyusuri jejak para mujahid, dan menjadi bagian dari gerakan global menuju pembebasan Masjidil Aqsha.
Langkah santri hari ini adalah jejak sejarah yang membangun peradaban. Teruslah melangkah, wahai santri. Karena Masjidil Aqsha tidak akan terbebas oleh mereka yang diam tapi akan dibebaskan oleh mereka yang berani melangkah seperti kalian. Allahu Akbar…Al-Aqsha Haqqunaa…!!